Rabu, 04 Desember 2013

al farabi


AL FARABI
Filosof politik Muslim
Pendahuluan
Setiap pemaparan tentang filsafat islam tidak bisa lepas dari dua bagian penting yaitu filsafat teoretis (al hikmah al nazhariyyah) yang berkaitan dengan hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya. Filsafat ini berkaitan dengan fisika, metafisika, dan psikologi. Kedua adalah Filsafat praktis (al hikmah al’amaliyyah) yaitu segala sesuatu  sebagaimana seharusnya. Filsafat ini berhubungan dengan etika, ekonomi dan politik.
Al Farabi dikenal sebagai  guru kedua setelah Aristoteles. Dia adalah filosof pertama yang menghadapkan, mempertalikan dan menyelaraskan Filsafat yunani klasik dengan islam dan berupaya membuatnya dimengerti dalam konteks agama.  Ada sedikitnya tiga alasan filsafat Al Farabi ditampilkan : 1. Al Farabi adalah filosof politik islam par excellence. Terbukti filosof- filosof setelahya tak bisa beranjak dari apa yang telah dikembangkan Al Farabi. 2. Para peneliti percaya bahwa filsafat tokoh ini merpakan upaya yang cukup berhasil untuk mengakomodasikan ajaran islam ke batang tubuh filsafat klasik. 3. Meskipun cerminan abad pertengahan tetapi mengandung arti modern bahkan kontemporer (last but not least).
Biografi Al Farabi tidak tercatat dengan baik. Yang pasti dia seorang  keturunan Persia yang lahir di Turki (Farab) pada tahun 258H/870M- 339H/950M. Ayahnya adalah seorang opsir militer. Al Farabi menulis karangan lebih dari 70 buku. Karyanya yang paling terkenal adalah al madinah al fadhilah (kota atau Negara utama). Fiksafat politik Al Farabi, khususnya gagasan mengenai kota utama, mencerminkan rasionalisme ajaran imamah dalam syiah. Al Farabi wafat didamaskus pada 950M yang saat itu usianya sekitar  80 tahun.
Kosmologi dan Akal dalam filsafat Al Farabi
Emanasi Sebagai Basis Kosmologi
            Kosmologi Al Farabi bermula dengan proses penciptaan alam semesta yang mengambil bentuk emanasi atau pancaran ilahi yang tersusun dalam hierarki- hierarki. Mulai dari Allah yang tertinggi, hingga wujud yang paling rendah dari bagian alam semesta. Menurut teori ini, wujud Allah sebagai wujud inteligensi akal mutlak yang barfikir tentang dirinya sebelum ada wujud-wujud selainnya. Ini akan otomatis menghasilkan akal pertama sebagai  hasil berfikirnya. Kemudian sebagai hasil berfikir sang akal pertama, maka terpancarlah akal kedua. Proses ini berjalan secara terus- menerus hingga sampai akal kesepuluh.
            Selain terciptanya akal-akal tersebut, proses ini juga menghasilkan terciptanya jiwa dan wadak planet-planet. Akal kedua yang berfikir tantang Allah juga berfikir tantang dirinya dan dari proses inilah tercipta jiwa dan wadak planet tertinggi yang pertama yang disebut sebagai planet atau langit pertama. Selanjutnya proses berfikir tentang dirinya sendiri dilakukan oleh akal ketiga hingga akal kesepuluh denga hasil ciptaan secara berturut-turut jiwa dan wadak bintang-bintang tetap, saturnus dan seterusnya, hingga tarcipta bulan sebagai planet kesembilan dan bumi sebagai planet kesepuluh.
            Berbeda dengan planet lain, bumi tak lagi bersifat immaterial murni tetapi campuran antara immaterial dan material. Dengan kata lain, semua wujud dibumi merupakan gabungan antara materi (maddah) dengan forma (shurah) yang bersifat immaterial. Untuk benda yang selama ini kita anggap mati, merupakan gabungan dari materi dan ruh seperti disinggung diatas. Di bumi ini tak ada materi mutlak atau akal atau ruh mutlak. Untuk benda mati, forma (shurah) itulah akal atau ruhnya.
Akal dan Hierarki Maujud  
            Jiwa manusia terdiri dari jiwa hewan dan jiwa tumbuhan. Setiap bagian dari jiwa ini menyumbangkan pada natur manusia. Jiwa tumbuhan menyumbang aspek vegetatif (nutritif dan apetitif) manusia. Sedangkan jiwa hewan menyumbankan aspek emosi (syahwat) padanya. Akan tetapi manusia adalah manusia yang berfikir (a lhayawan al nahtiq).

Tingkatan terendah akal manusia adalah akal potensial. Setelah mendapatkan stimulasi dari persepsi indriawi, kemudian diolah dibagian akal yang lebih rendah, ia tertransformasikan menjadi akal actual. Ketika akal manusia telah mencapai tingkat capaian dan bersifat sepenuhnya formal (forma), terbukalah peluang untuk berhubungan dengan akal aktif yang juga sepenuhnya bersifat formal. Pada saat inilah pencerahan oleh akal kesepuluh mengaktualisasikan ilmu pengetahuan dan dengan demikian manusia menjadi tahu tentang hal-hal yang belum diketahuimya pada tingkatan akal yang lebih rendah.


Kota Utama Al Farabi
            Kota utama adalah kota yang melalui perkumpulan yang ada didalamnya bertujuan untuk bekerja sama dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kota utama ini diperintah penguasa tertinggi yang benar-benar memiliki ilmu dan juga pengethuan. Ia mampu membimbing dengan baik sehingga orang melakukan apa yang diperintahnya. Tidak semua orang memiliki kapasitas untuk memimpin atau memandu orang lain atau kalaupun memang memilikinya tak semua orang memiliki kemampuan menasehati. Ada banyak orang yang memiliki keduanya atau hanya salah satunya , dan sebagian orang malah tak memiliki keduanya.
            Menurut al Farabi, ada tiga kelompok orang dari segi kapasitas untuk memimpin atau untuk memandu dan menasihati : penguasa tertinggi atau penguasa sepenuhnya, penguasa subordinat yang berkuasa sekaligus dikuasai, dan yang dikuasai sepenuhnya. dalam Kota utama, al Farabi membentuk asosiasi-asosiasi atau anggota-anggota yang masing-masing berbeda antara satu dan lainnya. Setiap anggota melaksanakan fungsinya sendiri yang khas(yang dikuasainya). Asosiasi-asosiasi tersebut saling melengkapi satu sama lain.
            Seorang pemimpin harus memenuhi persyaratan untuk memimpin. Jika disuatu kota tidak menemukan seseorang yang dapat memenuhi semua persyaratan, maka seseorang yang memenuhi sebagian besar persyaratan dapat dijadikan pengasa terbaik kedua. Jika tidak ada penguasa terbaik kedua, maka sekelompok orang yang memiliki semua persyaratan dapat menjadi penguasa. Jika ini juga tidak ditemukan, maka seseorang atau dua orang filosof atau lebih yang mampu menafsirkan dan menerpkan hukum dapat dijadikan penguasa.
            Fungsi dari kota utama ini adalah sang pangeran mengelola kota sedemikiam rupa sehingga semua bagian kota saling berkaitan serasi, serta sedemikian teratur sehingga semua penduduk mampu bekerja sama untuk menyingkirkan berbagai keburukan dan memperoleh kebaikan. Sedangkan tujuan Kota utama ini adalah untuk mendidik dan menyempurnakan penduduk kota sehingga mereka mengetahui pengetahuan teoretis dan dapat menjalani kehidupan kontemplatif.
            Selain kota utama, Al Farabi membagi Kota menjadi tiga :
1.kota jahiliyah, yaitu kota yang warganya tidak tahu kebahagiaan sebenarnya. Kota ini di bagi menjadi enam:
a. Kota kebutuhan dasar, yaitu kota yang warganya bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kesehatan badan
b. Kota jahat, yaitu kota yang warganya bekerja sama untuk meraih kekeyaan secara berlebih tetapi tidak mau membelanjakan hartanya kecuali untuk kebutuhan badan.
c. Kota rendah, yaitu kota yang warganya memburu kesenagan dan mementingkan hiburan dan hura-hura.
d. Kota kehormatan, yaitu kota yang warganya bertujuan untuk meraih kehormatan, pujian dan kesenangan.
e. Kota despotik, yaitu kota yang bertujuan untuk berkuasa atas orang lain dan mencegah orang lain berkuasa atasnya.
2. Kota Fasiq, yaitu kota yang sesungguhnya memahami kebahagiaan sejati sebagaimana kota utama, tetapi mereka menolak untuk berbuat sesuai pengetahuan dan keyakinan mereka.
3. Kota Sesat, yaitu kota yang menghendaki kebahagiaan akhirat tetapi memiliki kepercayaan yang keliru atau sesat

Demokrasi dalam Filsafat Politik Al-Farabi
            Kota demokrasi adalah kota yang tujuan pendududknya adalah kebebasan dan dibiarkan apapun yang dikehendakinya. Al-Farabi berpandangan bahwa kota demokratis merupakan satu diantara enam kota jahiliyah. Tetapi Al-Farabi percaya bahwa membangun kota utama dan menegakan pemerintahan orang bajik lebih efektif  dan lebih mudah dengan menggunakan kota demokratis. Al-Farabi menyebutkan bahwa lama kelamaan akan bermunculan orang-orang bajik dari kota ini. Oleh sebab itu, menurut Al-Farabi kota seperti ini memiliki kebaikan dan keburukan yang lebih besar dari kota jahiliyah lainnya.
Demokrasi dalam Pandangan Plato dan Aristoteles
            Plato berpendapat tentang demokrasi ini bahwa masyarakat tidak becus dalam masalah plitik. Masyarakat cenderung memberikan penilaian berdasarkan kebodohan dan dorongan hati serta sentiment atau perasangka. Akibatnya akan muncul pemimpin-pemimpin yang tidak becus. Penguasa sejati bukanlah orang-orang yamg memerintah sedemikian rupa sehingga berdamai dengan iktikat baik rakyatnya dan  juga bukan perang yang memerintah dengan mehormati hukum. Penguasa sejati adalah orang yang tahu bagaimana memerintah. Pengertian seperti itu terlalu tinggi untuk banyak orang dan demokrasi tidak dan takdapat mengetahui apapun tentang memerintah atau berkuasa.
            Aristoteles bersepakat dengan plato tentang sifat negative dari demokrasi (ekstrim). Menurutnya definisi kebebasan sebagai orang bebas hidup menurut kehendak sendiri dan demi keinginan sendiri adalah tidak betul. Tetapi dalam karangannya politic ia berpendapat :Rakyat, meskipun secara individual mereka hakim yang tidak becus di bandingkan orang-orang yang berpengetahuan, secara kolektif baik juga. Karena pihak yang banyak lebih tak dapat disuap dari pihak yang sedikit.
 
Al-Farabi dan Demokrasi
            Ketika Al-Farabi menulis bahwa “ dari kota demokratis lebih efektif dan jauh lebih mudah dibangun kota utama dan ditegakkan orang bajik dibandingkan kota jahiliyah”. Hal ini dapat dipahami bentuk apresiasi Al-Farabi terhadap kota ini. Al-Farabi berpendapat bahwa kota ini menjadi kedua terbaik setelah kota utama. Sikap Al-Farabi terhadap kota ini sangatlah jelas begitu pula penekananya dari sifat ideal dari kota utama yang aristokrasi dan otokrasi. Bagaimanapun, pernyataan yang dikutip diatas itu sendiri bersifat netral berkenaan dengan kebaikanya. Kota tersebut menampung kecenderungan apapun yang buruk maupun yang baik dan memberikan lebih banyak ruang bagi munculnya orana-orang bajik.



Pluralisme Masyarakat dan Agama dalam Filsafat               Al-Farabi
Asosiasi dan Pengusa
“Masyarakat yang sempurna itu ada tiga jenis, yaitu: besar menengah dan kecil. Yang besar adalah uni(kesatuan) yaitu semua masyarakat didunia yang layak huni, yang menengah adalah kesatuan satu bangsa di satu bagian dari dunia yang layak huni, yang kecil adalah kesatuan masyarakat suatu kota diwilayah bangsa apapun”
            Al Farabi menyusun golongan asosiasi berdasarkan keterdahuluan funngsi-fungsi yang ditampilkan serta daya imajinasi dan kearifan praktis yang dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. Semakin tinggi suatu fungsi dalam rangkaianya, maka semakin tinggi golongannya. Artinya, orang yang menggunakan hasilnya atau akhir dari fungsi yang lain menjadi kepala/pemimpinnya. Diantara manusia yang menggunakan fungsi yang sama ini, pemimpinlah yang harus memiliki daya imajinasi dan kearifan praktis yang lebih kuat untuk melaksanakan fungsi ini. Berdasarkan pemehaman akan realitas inilah dibangun struktur suatu asosiasi.
Asosiasi dan Pluralisme
            Untuk memahami bagaimana hubungan manusia dalam suatu asosiasi dan juga antar asosiasi perlulah menelaah konsep Al Farabi mengenai hal-hal yang digunakan individu maupun asosiasi untuk memperoleh kebahagiaan. Cara ini menggunakan dua metode: instruksi (pengajaran) dan pembentukan karakter. Pengajaran berarti memperkenalkan kebajikan teoretis denga cara persuasi (ucapan). Sedangkan pembentukan karakter adalah metode memperkenalkan kebajikan moral dan seni praktis dengan cara membiasakan bangsa dan penduduk melakukan tindakan-tindakan yang bersumber dari keadaan praktis karakter. Pembentukan karakter dilakukan dengan persuasi dan perbuatan (tekanan). Tekanan dilakukan pada penduduk kota yang keras kepala dan bandel yang tidak mendukung kebaikan dengan suka hati dan akemauan sendiri melalui argumen. Tekanan juga dikenakan pada mereka yang tidak mau mengajarkan kepada orang lain ilmu-ilmu teoretis yang dikuasainya.
           
Dari struktur hierarki asosiasi ini jelaslah bahwa asosiasi yang lebih kecil tunduk pada asosiasi yang lebih besar. Ini menyebabkan campur tangan asosiasi yang lebih besar kepada asosiasi yang lebih kecil. Tetapi Al Farabi mengakui bahwa eksistensi asosiasi yang lebih kecil dan sempurna akan membentuk asosiasi yang lebih besar. Maka masalah asosiasi yang lebih besar yang mengitervensi asosiasi yang lebih kecil tidak lagi penting, karena kepemimpinan atas asosiasi yang lebih kecil digunakan oleh dan merupakan perpajangan dari kepemimpinan asosiasi yang lebih besar. Jadi pada dasarnya asosiasi atau bangsa yang lebih kecil telah memiliki otonomi sendiri.
Asosiasi dan Agama
“... Jelaslah bahwa semua ini mustahil kecuali kota memiliki agama yang sama, yang akan menyatukan pedapat, keyakinan dan pendapat masyarakat. Ini akan menyelesaikan terjadinya pengotakan dalam masyarakat dan juga menata serta mengorganisasikan denga tepat. Dengan begitu masyarakat akan saling bantu satu sama lain untuk mencapai tujuan yang didambakan yaitu kebahagiaan puncak”. ( Al Farabi, The Book of Religion)
            Dari pernyataan diatas Al Farabi berpendapat bahwa adanya satu agama akan lebih menguntungkan bagi keuntungan manajerial profan penguasa. Al Farabi dari paragraf pertama dari buku yang sama, mendefinisikan agama sebagai berikut : ” agama terdiri dari pendapat dan tindakan yang ditentukan dan dibatasi oleh kondisi yang digariskan untuk suatu komunitas oleh penguasa pertamanya”. Agama disini tidak hanya agama yang diwahyukan, seperti islam, kristan, yudaism, dan sebagainya. Tetapi agama yang palsu dan tidak benar.

Etika dalam Pemikiran Al Farabi
Jiwa sebagai sumber Kompetensi Etis
            Dalam Nichomachean Etics karya Aristoteles menyatakan bahwa daya-daya utama atau bagian-bagian jiwa ada lima: nutritif, sensitif, imajinatif, syahwaniah, dan rasional. Dari yang disebutkan diatas yang terakhirlah yang memiliki fungsi etis tersendiri. Lewat daya inilah seseorang mempertimbangkan apa yang hendak dikerjakan, kapan saja ia berkehendak melakukannya, apakah itu bisa dilakukan atau tidak dan bagaimana itu bisa dilakukan. Lewat daya ini juga manusia dapat menalar dan berfikir, mencapai ilmu-ilmu dan seni-seni dan membedakan mana yang benar dan yang salah.
Kebahagiaan Puncak sebagai Tujuan Kehidupan Etis
Bagi Al Farabi, tujuan puncak keberadaan manusia adalah mencari kebahagiaan utama (supreme happinness). Al Farabi menyamakan kebahagiaan utama denga kebaikan mutlak. kebaikan mutlak ini adalah tuhan, mengingat dia adalah tujuan yang dibaliknya taak ada lagi tujuan yang dicari lewat sarana kebahagiaan. Maksudnya adalah kesempurnaan final manusia dikehidupan akhirat.
            Al Farabi menjelaskan bahwa kebahagiaan utma dikehidupan akhirat tergantung pada kebahagiaan didunia sekarang ini yang disebut sebagai kesempurnaan pertama manusia. Dalam pandangannya, jiwa akan selalu hidup. Kebahagiaan dalam kehidupan akhirat merupakan konsekuensi dari keadaan kesehatannya dalam kehidupan di dunia. Yang dimaksudkan Al Farabi keadaannya dan keadaan bagian-bagiannya yang dengannya ia selalu menyelnggarakan perbuatan baik dan mulia serta tindakan yang adil.
Teori tentang Kebajikan
            menurut Al Farabi, tidaklah mungkin bahwa seseorang sejak lahir dianugerahi sifat baik dan buruk. Tetapi boleh jadi ia dianugerahi kesiapan alami baik dan buruk. Kesiapan ini melalui praktik dapat berkembang menjadi suatu kebiasaan. Sekali suatu sifat tertanam lewat kebiasaan ia akan sulit dihilangkan. Meski merupakan kekecualian, orang yang didalamnya semua kebajikantlah telah tertanam lewat kebiasaan akan mengungguli sesamanya dan dapat dikatakan sebagai telah naaik ke tingkatan supra manusia dan dialah yang seharusnya menjadi pemimpin.
Negara sebagai Wahana Pendidikan Etika
            Upaya untuk mengembangkan etika yang dapat membawa orang kepada kebahagiaan puncak dalam kehidupan kini dan kehidupan akhirat harus dilakukan perkumpulan-perkumpulan politik. Umumnya manusia mengalami kesulitan dalam menjadikan etika sebagai habitusnya. maka, perlulah pembinaan dari negara yang berada dibawah pimpinan seorang pemimpin yang bajik.
Tentang Kejahatan
            Menurut Al Farabi kejahatan sebagai “entitas kosmik” sesungguhnya sama sekali tidak ada (non existan).Aapapun yang ada di alam semesta ini adalah sepenuhnya baik. Satu-satunya kejahatan yang ada didunia ini adalah “kejahatan sukarela” yang mengambil bentuk ketiadaan kebahagiaan/kebahagiaan puncak dan ini disebut sebagai kedurjanaan. Kejahatan ini dilakukan dengan tindakan-tindakan sukarela yang mengarah pada kedurjanaan tersebut.         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar